Masjid At Taqwa Glongsor
Ada perasaan sedih jika melihat bangunan yang tiap
hari berada di depan mata. Temboknya sudah banyak yang mengelupas, beberapa
bagian sudah ditumbuhi lumut. Bagian teras selalu bocor jika musim hujan datang, sampai-sampai sudah
beberapa tukang membenahi bagian yang bocor itu, hampir semuanya tidak ada yang
berhasil. Kalaupun sempat mampet itu hanya untuk beberapa hari saja.
Jika musim kemarau selalu dipenuhi dengan
debu karena posisinya yang berada di pinggir jalan, ayam-ayam seringkali
terlihat nimbrung di teras masjid yang
terbuka dan tanpa pagar itu, yang kemudian meninggalkan kotoran yang
berceceran. Tentu saja untuk membersihkannya harus dilap dengan lap basah agar
tidak berbau dan meninggalkan najis..
Sedangkan bila musim hujan kebocoran di
beberapa bagian sudah menjadi
pemandangan rutin yang tidak sedap dipandang. Kadang merasa tidak
berdaya dengan pemandangan seperti itu, ingin merenovasi terhambat dengan
keterbatasan bahkan ketiadaan dana. Karena rata-rata masyarakat yang ada di
sekitarnya hanya berpenghasilan sebagai buruh bangunan, merupakan hal yang
mustahil rasanya jika mereka dilibatkan dalam hal pengumpulan dana untuk
membangun masjid itu. Kalaupun tidak berupa masjid yang megah dengan konstruksi
beton, asal bersih dan tidak bocor itu sudah sangat nyaman untuk ditempati.
Bahkan aku pernah berfikir
bahwa inilah satu-satunya masjid yang dimiliki oleh persyarikatan Muhammadiyah
yang paling jelek se Indonesia. Jika
melihat masjid-masjid lain yang begitu besar, megah, dan indah, rasanya ada
perasaan iri dan malu kenapa tidak bisa membangun masjid yang seperti itu
padahal di desa-desa sekitar mampu membangun masjid yang megah, pada hal kalau
dilihat keadaan masyarakat di sekitarnya juga tidak jauh berbeda. Benar-benar
memprihatinkan rasanya. Semua gambaran di atas adalah keadaan tiga tahun yang
lalu.
Sekarang yang tampak adalah
bangunan masjid yang megah berlantai dua dengan ukuran 10 x 10 meter berlantai
keramik dan bergaya modern minimalis sesuai dengan gaya yang sedang ngetrend
saat ini. Di bagian depan sudut masjid yang merupakan fasad atau wajah masjid
ditempeli dengan batu alam yang eksotik dan anggun. Tertulis nama masjid pada
bidang cor-coran batu bertekstur dengan nama Masjid At Taqwa Glongsor Sidorejo
dengan warna dasar hitam dengan huruf warna putih dan abu-abu. Sangat serasi
sekali paduan warna dan pilihan huruf yang digunakan, tulisan masjid
menggunakan font Scriptina Pro yang bercorak kaligrafis dan tulisan at Taqwa menggunakan
model font designer block yang berkarakter balok yang tebal namun modern. Warna
bangunan didominasi warna putih dan abu-abu serta ada aksen berwarna hitam pada
batu alam.
Tampak elegan sekali dan berselera tinggi,
cukup mewah untuk ukuran kampung yang kecil dengan rumah-rumah di sekitarnya
yang bangunannya rata-rata sangat sederhana. Wajar jika setiap orang yang lewat
matanya selalu nanar menyempatkan diri untuk mengamati kecantikannya. Sekilas
bangunan itu seperti bukan masjid tapi lebih mengesankan sebuah kantor, hanya
karena memiliki kubah di atasnya sehingga tidak meninggalkan ciri khas masjid.
Jika masuk ke dalam, yang
langsung tampak menarik adalah bagian pengimaman yang memiliki ukuran cukup
tinggi dan ditempeli dengan lapisan kayu, senada dengan lantainya yang
menggunakan keramik juga bermotif kayu, serta kusen alumunium yang membingkai
jendela kaca juga bercorak kayu, sehingga menjadi paduan yang sangat indah dan
berkesan natural. Kehadiran jendela kaca dengan ukuran yang lebar menjadikan
ruangan masjid sangat terang dan asri karena pohon-pohon tabe buya yang ada di
samping masjid seperti menyatu dengan ruangan jika dilihat dari dalam.
Kalau pandangan diarahkan ke
atas, yang tampak adalah sebuah kubah yang cembung namun sangat proporsional
ditopang oleh balok-balok bersegi delapan mengikuti bentuk lingkaran yang
berukuran sepertiga bulatan bola, sangat sesuai dengan bentuk bangunan yang
bergaya minimalis hasil mengadopsi masjid biru yang ada di Irak.
Dua buah kotak yang mewadai
pot bunga berisi tanaman bambu pilipin yang pertumbuhannya ke atas memiliki
karakter menyesuaikan dengan kondisi dalam ruang ikut melengkapi keindahan
dalam ruangan masjid itu. Letaknya yang
berada di samping kanan dan kiri jendela dengan kaca lebar yang berjajar tiga
menjadikan penampilannya menyatu dengan tanaman yang berada di luar ruangan.
Asri dan segar, adalah kesan yang dirasakan oleh orang-orang yang pernah masuk
ke ruangan masjid itu.
Banyak pengalaman yang bisa
ditulis sejak masjid itu dirobohkan dan dibangun kembali. Untuk mewujudkan
impian agar memiliki masjid yang indah ini membutuhkan mental yang kuat,
perjuangan, pengorbanan, sabar, dan ulet, serta yang tidak kalah pentingnya
adalah adanya keyakinan akan pertolongan dari Allah.
Sejak aku masih remaja tahun
1980 an masjid itu sudah diserahkan pengelolaannya kepada persyarikaatan
Muhammadiyah dan ada surat serah terimanya, sehingga masalah menejemen dan
pembangunannya menjadi tanggung jawab organisasi. Sudah menjadi tradisi bahwa
warga Muhammadiyah yang ada di daerah tersebut yang bertanggung jawab dan
menjadi ujung tombak dalam pembangunannya, baik desain, biaya, maupun kebutuhan
lainnya yang berhubungan dengan kemakmuran masjid. Ada catatan yang sampai
sekarang masih kuingat pada awal pembangunannya. Sebuah pembicaraan yang
membutuhkan konsekuensi besar bagaimana harus mewujudkan bangunan itu sampai
selesai.
Asisten tukang yang waktu itu harus
memegang peran menggantikan tukang senior yang tiba-tiba meninggalkan tugasnya
karena ada pekerjaan diluar yang lebih menguntungkan. Waktu itu asisten tukang
Jujun namanya, mau kembali lagi melanjutkan pekerjaannya di Jakarta. Aku
katakan kepadanya : “Awakmu ojo balik nang Jakarta, omongo ae karo bossmu nek
tenagamu dibutuhno”. “Masjid iki pikiren yok opo apikke, sementara aku tak
mikir golek duwikke...”. Nek ono kesulitan ayo dipikir bareng...”. Dia
mengganggukkan kepala menyetujui apa yang aku katakan.
Sejak pembicaraan itu aku
harus mencukupi kebutuhan pembangunannya. Setiap sabtu malam minggu tukang dan
para kuli selalu ke rumah untuk mengambil bayaran. Pada awal pembangunan, dana di bendahara
masih banyak maka tugas bendahara sebagai pemegang uang benar-bisa dijalankan,
tetapi ketika dana itu sudah habis maka bendahara tidak begitu banyak berperan
lagi, bendahara tidak pernah lagi menyimpan uang, karena dana yang masuk
langsung digunakan. Dana diperoleh dari sumbangan para dermawan, teman,
kenalan, saudara, atau siapa saja yang bisa dimintai kerelaannya menyumbangkan
sebagian rejekinya. Keadaan susah payah
mencari dana itu berjalan sekitar satu tahun, sampai dengan pembangunan kubah
selesai. Alhamdulillah Allah selalu memberi jalan keluar berupa dana
sertifikasi yang kuterima. Sehingga untuk mengatasi kebutuhan pengadaan
material maupun ongkos tukang aku bisa menggunakan dana itu di samping dana
sumbangan yang masuk yang tidak bisa dipastikan datangnya.
Aku
semakin meyakini adanya pertolongan Allah, asalkan mau berikhtiar, berani
melangkah, dan yakin, semua masalah akan dapat terpecahkan. Bahkan aku pernah membuktikan
sendiri, setiap mengalami kesulitan keuangan aku berfikir dan batinku sendiri
bertanya, kira-kira siapakah yang membantu masalah keuangan ini...? meskipun
pada waktu itu aku sama sekali tidak memiliki alternatif apa-apa. Ternyata
selalu saja ada pertolongan dari Allah yang sama sekali tidak terduga. Allah
selalu memberi jalan keluar dari jalan yang tidak disangka-sangka. Terbukti
sejak pembangunan dimulai sampai tiga tahun yang lalu tepatnya hari minggu
tanggal 4 Oktober 2010 sampai sekarang Desember 2014 tukang dan kuli tidak pernah diliburkan
kecuali kalau mereka minta libur sendiri karena ada keperluan keluarga.(Istidlal)