03 Desember 2014

Masjid At-Taqwa Glongsor


Masjid At Taqwa Glongsor
Ada perasaan sedih jika melihat bangunan yang tiap hari berada di depan mata. Temboknya sudah banyak yang mengelupas, beberapa bagian sudah ditumbuhi lumut. Bagian teras selalu bocor  jika musim hujan datang, sampai-sampai sudah beberapa tukang membenahi bagian yang bocor itu, hampir semuanya tidak ada yang berhasil. Kalaupun sempat mampet itu hanya untuk beberapa hari saja.
Jika musim kemarau selalu dipenuhi dengan debu karena posisinya yang berada di pinggir jalan, ayam-ayam seringkali terlihat nimbrung di teras  masjid yang terbuka dan tanpa pagar itu, yang kemudian meninggalkan kotoran yang berceceran. Tentu saja untuk membersihkannya harus dilap dengan lap basah agar tidak berbau dan meninggalkan najis..

Sedangkan bila musim hujan kebocoran di beberapa bagian sudah menjadi  pemandangan rutin yang tidak sedap dipandang. Kadang merasa tidak berdaya dengan pemandangan seperti itu, ingin merenovasi terhambat dengan keterbatasan bahkan ketiadaan dana. Karena rata-rata masyarakat yang ada di sekitarnya hanya berpenghasilan sebagai buruh bangunan, merupakan hal yang mustahil rasanya jika mereka dilibatkan dalam hal pengumpulan dana untuk membangun masjid itu. Kalaupun tidak berupa masjid yang megah dengan konstruksi beton, asal bersih dan tidak bocor itu sudah sangat nyaman untuk ditempati.

Bahkan aku pernah berfikir bahwa inilah satu-satunya masjid yang dimiliki oleh persyarikatan Muhammadiyah yang  paling jelek se Indonesia. Jika melihat masjid-masjid lain yang begitu besar, megah, dan indah, rasanya ada perasaan iri dan malu kenapa tidak bisa membangun masjid yang seperti itu padahal di desa-desa sekitar mampu membangun masjid yang megah, pada hal kalau dilihat keadaan masyarakat di sekitarnya juga tidak jauh berbeda. Benar-benar memprihatinkan rasanya. Semua gambaran di atas adalah keadaan tiga tahun yang lalu.

Sekarang yang tampak adalah bangunan masjid yang megah berlantai dua dengan ukuran 10 x 10 meter berlantai keramik dan bergaya modern minimalis sesuai dengan gaya yang sedang ngetrend saat ini. Di bagian depan sudut masjid yang merupakan fasad atau wajah masjid ditempeli dengan batu alam yang eksotik dan anggun. Tertulis nama masjid pada bidang cor-coran batu bertekstur dengan nama Masjid At Taqwa Glongsor Sidorejo dengan warna dasar hitam dengan huruf warna putih dan abu-abu. Sangat serasi sekali paduan warna dan pilihan huruf yang digunakan, tulisan masjid menggunakan font Scriptina Pro yang bercorak kaligrafis dan tulisan at Taqwa menggunakan model font designer block yang berkarakter balok yang tebal namun modern. Warna bangunan didominasi warna putih dan abu-abu serta ada aksen berwarna hitam pada batu alam.
Tampak elegan sekali dan berselera tinggi, cukup mewah untuk ukuran kampung yang kecil dengan rumah-rumah di sekitarnya yang bangunannya rata-rata sangat sederhana. Wajar jika setiap orang yang lewat matanya selalu nanar menyempatkan diri untuk mengamati kecantikannya. Sekilas bangunan itu seperti bukan masjid tapi lebih mengesankan sebuah kantor, hanya karena memiliki kubah di atasnya sehingga tidak meninggalkan ciri khas masjid.

Jika masuk ke dalam, yang langsung tampak menarik adalah bagian pengimaman yang memiliki ukuran cukup tinggi dan ditempeli dengan lapisan kayu, senada dengan lantainya yang menggunakan keramik juga bermotif kayu, serta kusen alumunium yang membingkai jendela kaca juga bercorak kayu, sehingga menjadi paduan yang sangat indah dan berkesan natural. Kehadiran jendela kaca dengan ukuran yang lebar menjadikan ruangan masjid sangat terang dan asri karena pohon-pohon tabe buya yang ada di samping masjid seperti menyatu dengan ruangan jika dilihat dari dalam.


Kalau pandangan diarahkan ke atas, yang tampak adalah sebuah kubah yang cembung namun sangat proporsional ditopang oleh balok-balok bersegi delapan mengikuti bentuk lingkaran yang berukuran sepertiga bulatan bola, sangat sesuai dengan bentuk bangunan yang bergaya minimalis hasil mengadopsi masjid biru yang ada di Irak. 

Dua buah kotak yang mewadai pot bunga berisi tanaman bambu pilipin yang pertumbuhannya ke atas memiliki karakter menyesuaikan dengan kondisi dalam ruang ikut melengkapi keindahan dalam ruangan masjid itu.   Letaknya yang berada di samping kanan dan kiri jendela dengan kaca lebar yang berjajar tiga menjadikan penampilannya menyatu dengan tanaman yang berada di luar ruangan. Asri dan segar, adalah kesan yang dirasakan oleh orang-orang yang pernah masuk ke ruangan masjid itu.
Banyak pengalaman yang bisa ditulis sejak masjid itu dirobohkan dan dibangun kembali. Untuk mewujudkan impian agar memiliki masjid yang indah ini membutuhkan mental yang kuat, perjuangan, pengorbanan, sabar, dan ulet, serta yang tidak kalah pentingnya adalah adanya keyakinan akan pertolongan dari Allah.
Sejak aku masih remaja tahun 1980 an masjid itu sudah diserahkan pengelolaannya kepada persyarikaatan Muhammadiyah dan ada surat serah terimanya, sehingga masalah menejemen dan pembangunannya menjadi tanggung jawab organisasi. Sudah menjadi tradisi bahwa warga Muhammadiyah yang ada di daerah tersebut yang bertanggung jawab dan menjadi ujung tombak dalam pembangunannya, baik desain, biaya, maupun kebutuhan lainnya yang berhubungan dengan kemakmuran masjid. Ada catatan yang sampai sekarang masih kuingat pada awal pembangunannya. Sebuah pembicaraan yang membutuhkan konsekuensi besar bagaimana harus mewujudkan bangunan itu sampai selesai. 
Asisten tukang yang waktu itu harus memegang peran menggantikan tukang senior yang tiba-tiba meninggalkan tugasnya karena ada pekerjaan diluar yang lebih menguntungkan. Waktu itu asisten tukang Jujun namanya, mau kembali lagi melanjutkan pekerjaannya di Jakarta. Aku katakan kepadanya : “Awakmu ojo balik nang Jakarta, omongo ae karo bossmu nek tenagamu dibutuhno”. “Masjid iki pikiren yok opo apikke, sementara aku tak mikir golek duwikke...”. Nek ono kesulitan ayo dipikir bareng...”. Dia mengganggukkan kepala menyetujui apa yang aku katakan.
Sejak pembicaraan itu aku harus mencukupi kebutuhan pembangunannya. Setiap sabtu malam minggu tukang dan para kuli selalu ke rumah untuk mengambil bayaran.  Pada awal pembangunan, dana di bendahara masih banyak maka tugas bendahara sebagai pemegang uang benar-bisa dijalankan, tetapi ketika dana itu sudah habis maka bendahara tidak begitu banyak berperan lagi, bendahara tidak pernah lagi menyimpan uang, karena dana yang masuk langsung digunakan. Dana diperoleh dari sumbangan para dermawan, teman, kenalan, saudara, atau siapa saja yang bisa dimintai kerelaannya menyumbangkan sebagian rejekinya.  Keadaan susah payah mencari dana itu berjalan sekitar satu tahun, sampai dengan pembangunan kubah selesai. Alhamdulillah Allah selalu memberi jalan keluar berupa dana sertifikasi yang kuterima. Sehingga untuk mengatasi kebutuhan pengadaan material maupun ongkos tukang aku bisa menggunakan dana itu di samping dana sumbangan yang masuk yang tidak bisa dipastikan datangnya.
                Aku semakin meyakini adanya pertolongan Allah, asalkan mau berikhtiar, berani melangkah, dan yakin, semua masalah akan dapat terpecahkan. Bahkan aku pernah membuktikan sendiri, setiap mengalami kesulitan keuangan aku berfikir dan batinku sendiri bertanya, kira-kira siapakah yang membantu masalah keuangan ini...? meskipun pada waktu itu aku sama sekali tidak memiliki alternatif apa-apa. Ternyata selalu saja ada pertolongan dari Allah yang sama sekali tidak terduga. Allah selalu memberi jalan keluar dari jalan yang tidak disangka-sangka. Terbukti sejak pembangunan dimulai sampai tiga tahun yang lalu tepatnya hari minggu tanggal 4 Oktober 2010  sampai sekarang  Desember 2014 tukang dan kuli tidak pernah diliburkan kecuali kalau mereka minta libur sendiri karena ada keperluan keluarga.(Istidlal)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan meninggalkan blog ini sebelum memberikan komentar.