Gaulislam.com. Ada dua hal yang menurut kebanyakan orang termasuk hal yang tidak menyenangkan; pertama berbuat salah dan kedua mengaku salah. Keduanya terasa tidak enak di hati terutama karena berurusan dengan pihak di luar kita, yakni orang lain. Ambil contoh, pelajar yang NEM-nya yang tidak memuaskan pastinya menjadi tidak enak hati karena akan mendapat teguran dari guru atau orang tua. Belum lagi orang tua menjadi curiga; jangan-jangan selama ini di sekolah tidak pernah serius belajar.
Menabrakkan motor pinjaman ke mobil orang lain, pastinya bukan perkara yang menyenangkan. Secara materi, sudahlah harus mempertanggungjawabkan kerusakan motor pinjaman pada teman kita, termasuk membawanya ke bengkel, juga harus memperbaiki mobil yang kita tabrak. Secara mental, kita merasa malu luar biasa pada teman yang sudah mempercayakan motor pada diri kita, dan pastinya pudar sudah kepercayaan teman pada kita. Bukan tidak mungkin bila suatu saat kita akan meminjam mobil miliknya, langsung ditolak mentah-mentah. Motor saja tabrakan, apalagi mobil, pikir kawan kita.
Kawan, tidak ada yang menyenangkan bila kita berbuat salah. Kesalahan itu terkadang menjadikan batin tersika, malah terkadang memberikan penderitaan secara lahir. Dahulu di Jepang, bila seseorang merasa malu atau bersalah, ia akan mengambil tindakan harakiri, bunuh diri. Sampai sekarang tradisi itu dilestarikan sebagian orang di Jepang, terutama para pejabat publik.
Tapi haruskah rasa bersalah membuat kita tersiksa setiap saat? Malu bertemu orang lain - apalagi yang menjadi korban kesalahan kita –, putus asa, apalagi sampai tergeletak sakit? Jawabannya tentu tidak. No body’s perfect! Tidak ada manusia yang sempurna. Sadarilah bahwa diri kita adalah manusia biasa yang terbuat dari darah dan daging. Mahluk yang punya potensi untuk berbuat kesalahan, sebagaimana juga punya potensi untuk berbuat kebaikan. Sekuat apapun tenaga yang kita kerahkan untuk menghindarkan diri dari kesalahan, tetap saja akan ada kesalahan yang melekat. Disengaja ataupun tidak, diketahui atau tidak oleh diri kita, tetap saja kesalahan menguntit diri. Rasulullah saw. bersabda: “Setiap anak Adam berbuat salah, tetapi sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang bertaubat.”
Taubat. Itulah yang diminta oleh Allah Swt. kepada siapa saja yang berbuat salah. Meskipun manusia adalah mahluk yang selalu berbuat salah, sebesar apapun, Allah tetap Zat yang Maha Pengampun, yang ampunanNya akan mengalahkan dosa-dosa manusia. Firman Allah Swt.: “Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan,”(TQS. Asy Syuraa [42]:25).
Ingat juga, bukankah Allah Swt. mengajarkan kita satu doa yang dianjurkan untuk dibaca setiap saat;
“…Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”(TQS. Al Baqarah [2]:286).
Maka, don’t sweat a small thing! Jangan terlalu ambil pusing dengan masalah-masalah kecil. Berbuat salah itu manusiawi. Siapa sih yang tidak pernah berbuat salah. Belajarlah dari kesalahan yang pernah kita buat, jangan meratapinya hingga hanyut di dalamnya. Menghakimi diri seorang tidak ada manusia yang pernah berbuat salah sebesar itu selain kita.
Sobat, manusia yang baik, bukanlah mereka yang tidak pernah berbuat salah, tapi adalah mereka belajar dari kesalahan. Setiap kita berbuat salah berpikirlah, kenapa saya berbuat salah, dan apa yang harus saya lakukan selanjutnya. Insya Allah akan banyak pelajaran berharga yang kita peroleh. Boleh percaya, boleh tidak brownies - kue coklat yang yummi rasanya - ternyata lahir dari kesalahan seorang koki. Hasilnya kue itu malah disuka banyak orang di seluruh dunia. Bila ulangan kimia mendapat lima, tidak artinya bila sekedar ditangisi, tapi pelajari kesalahan kita untuk tidak terulang pada masa mendatang.
Namun kawan, jangan pernah anggap kecil kesalahan apapun, walau sekedar berkata kasar pada seorang kawan, melihat aurat orang lain, atau mengabaikan janji. Seluruhnya adalah dosa di sisi Allah. Segeralah perbaiki. Tapi juga jangan cengeng ketika itu terjadi pada diri kita. Seolah tidak ada pintu taubat dan kesempatan untuk memperbaiki diri. Jangan menghukumi diri sendiri, biarlah Allah yang menentukan balasan atas kesalahan kita. Yang dapat kita lakukan adalah beristighfar, meminta ampun atas perbuatan salah yang kita lakukan. Dan Allah adalah Zat yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
ooOoo
Nomor dua yang tidak menyenangkan untuk dikerjakan banyak orang adalah meminta maaf. Ada kesan yang ‘menyesatkan’, bahwa minta maaf itu berarti kita menjadi hina, rendah bak pengemis. Maka minta maaf jadi hal yang dihindari banyak orang yang tidak berjiwa besar.
Ada dua cara yang dikerjakan orang untuk menghindari minta maaf; mencari-cari alasan untuk menyalahkan orang lain, dan atau berdiam diri dengan harapan orang lain segera lupa. Ketika motor kita menabrak mobil, segera saja pasang wajah galak dan sebelum si pemilik mobil marah, maka kita duluan yang marah, “Bapak ini bagaimana sih, sudah tahu saya lagi belajar naik motor nyimpen mobilnya sembarangan!” Atau kalau perlu sebut pangkat Bapak kita di dinas kemiliteran atau kejaksaan, niscaya orang itu ngeper.
Begitupula supaya pemilik motor tidak marah, dan kita tidak perlu minta maaf padanya, maka segera kita dahului dengan ucapan, “Wah motornya tabrakan nih. Untung aja saya sempat menghindar jadi rusaknya nggak parah. Kamu juga salah sih, udah tahu saya belum trampil naik motor, kamu kasih pinjam juga. Sekarang kamu harus ikhlas, ini kan musibah yang tidak bisa dihindari!” Dalam ilmu kejiwaan yang seperti ini disebut argumentum ad homentum, mencari alasan untuk menyalahkan orang lain, sehingga dirinya terhindar dari kesalahan.
Masihkah kita layak disebut seorang mukmin sejati dengan sikap seperti demikian? Kawan, zaman sekarang ini bukan saja orang yang berani karena benar, tapi yang salah pun berani, bahkan lebih berani daripada mereka yang benar. Para pencopet yang tertangkap basah oleh korbannya, dengan gagah segera balik menuduh, “Jangan sembarangan nuduh saya copet! Kamu kali yang copet!” Karena kebanyakan korbannya adalah orang baik-baik dan tidak siap dengan perlakuan seperti itu, tidak sedikit yang jadi terdiam.
Ketika kita dipersalahkan, kita bukannya mengoreksi diri untuk kemudian meminta maaf, kita malah sibuk berapologi, mencari alasan untuk balas menyalahkan orang lain. Mari belajar untuk bersikap dewasa dengan menjadi gagah untuk mengakui kesalahan kita. Dengan mengaku salah dan meminta maaf belum tentu orang lain akan marah apalagi menghinakan kita, yang sudah pasti Allah memuliakan kita. Tapi dengan berapologi, justru akan menurunkan kewibawaan kita dan mengundang antipati. Menunjukkan bahwa kita tidak berjiwa besar.
Cara kedua untuk tidak meminta maaf adalah menganggap bahwa kita tidak pernah berbuat kesalahan. Biarkan saja, toh orang lain tidak tahu, pun seandainya mengetahui mereka juga akan segera lupa. Bacalah koran, tidak sedikit orang menjadi korban tabrak lari. Entah siapa yang menabraknya, mereka juga tidak peduli siapa yang mereka tabrak; tewas atau selamat. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa. Ini juga contoh perilaku orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka menyangka bahwa tidak akan ada yang tahu dan menuntut kesalahan yang mereka lakukan. Padahal Allah Maha Mengetahui.
“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan.”(TQS. Al An’am[6]:120).
Semoga kita terlindung dari perilaku demikian karena bukan bagian dari perilaku seorang mukmin sejati. [januar]
[pernah dimuat di Majalah PERMATA, edisi Agustus 2002]